Kamis, 23 Agustus 2012


NUANSA ARSITEKTUR PURI
PEMBENTUK KARAKTER
ARSITEKTUR PERKOTAAN DI BALI

                                                                                               
Oleh :
                                                          Ir.Ida Bagus Putu Arga Utama
                                                                              
ARSITEKTUR PURI merupakan arsitektur warisan (Heritage Architecture) yang mempunyai nilai sejarah dan budaya yang tinggi karena Puri tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan kepemerintahan Bali,dimana Puri merupakan pusat pemerintahan dan budaya kerajaan-kerajaan di Bali di jaman pra kemerdekaan.Namun setelah serangan dan pendudukan Belanda diBali abad 19 hingga pertengahan abad 20 beberapa Puri di Bali hancur malah beberapa hilang tanpa bekas akibat perang puputan.untuk itu sudah selayaknya Arsitektur Puri di lestarikan dalam pencarian Identitas Arsitektur Bali.Sebagai Monumen sejarah dan budaya yang bisa dikembangkan menjadi Wisata Warisan (Heritage Tourism) pada umum dan wisata arsitektur (Architecture Tourism) pada khususnya.
            Nuansa Arsitektur Puri : secara garis besar karakter Arsitektur Puri terbagi menjadi 2 (dua) yakni :
1.  Tradisional Primitif (Jaman Bali Kuno)
            2. Tradisional Klasik (Jaman Pertengahan : Jaman Kejayaan Majapahit hingga Jaman Kolonial)
yang banyak ditemukan.sekarang dijaman kemerdekaan adalah Arsitektur Puri yang bergaya klasik yang dipengaruhi oleh gaya Eropa, China, Arab seperti: Taman Oejoeng Karangasem. sedangkan Peninggalan Arsitektur Puri jaman Bali Kuno agak sulit ditemukan karena sudah dimakan jaman pasca datang Majapahit ke Bali.beberapa Peninggalan yang masih bisa dilihat antara lain: Bekas Kerajaan Gelgel di Klunglung dan kerajaan Bedahulu di Blahbatuh Gianyar sedangkan Arsitektur Purbakala bisa dilihat di sepanjang Tukad Pekerisan Pejeng Gianyar dan menjadi Cagar Budaya Dunia dengan Museum Purbakalanya.

            Sejarah kota-kota di Bali di awali dengan lahirnya sebuah kerajaan yang diikuti oleh pembangunan desa dan banjarnya yang mengelilingi pusat kerajaan yang di sebut Puri yang berasal dari kata Pur yang artinya Benteng.Setelah Puri terbentuk dilanjutkan dengan pembangunan Pura dan Pasar serta alun-alun (Bencingah) dan Bale Pertemuan (Paseban Agung).yang lokasinya terletak diseputar catus patha yang merupakan titik 0(nol)/kilometer 0(nol).seperti yang terlihat dibeberapa pusat kerajaan yang sekarang menjadi pusat kota antara lain : Pusat Kota Gianyar, Purinya terletak di timur laut catus patha sedangkan Puri Klungkung dan Puri Tabanan terletak di barat daya catus patha .saat ini masih bertahan hingga jaman kejayaan kerajaan di Bali namun akibat serangan Belanda,jaman pertengahan beberapa Puri di Bali hancur bahkan punah seperti Puri Denpasar yang dulunya terletak di timur laut catus patha sekarang di peruntukan untuk rumah dinas Gubernur Bali dan Ruang Pertemuan Jaya Sabha.begitu juga halnya dengan Puri Tabanan oleh Belanda dijadikan alun-alun dan sekarang oleh Pemerintah kabupaten Tabanan dijadikan Gedung Mario (Gedung Kesenian dan Olah Raga).
            Karena Puri merupakan Pusat pemerintahan kerajaan maka Puri merupakan pusat orientasi,panutan pengembangan wilayah Puri dan kawasan di sekitarnya.hal ini bisa dilihat dari nuansa arsitekturnya seperti adanya bangunan Ancak Saji, Bale Bengong atau Bale Kulkul disetiap pojok pertigaan dan perempatan begitu juga dengan Pintu masuk berupa Gelung Kori dan Apit Lawang.
            Setelah kemerdekaan,penataan dan fungsi ruang pusat kerajaan  berubah menjadi pusat kota dan pusat pemerintahan baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten.Hal ini sangat mempengaruhi perwujudan Arsitektur Perkotaannya,tapi walaupun begitu karakter Arsitektur Puri yang pernah jaya di jamannya masih mampu memberi dan membentuk karakter Arsitektur Perkotaan di Bali
Pengaruh Arsitektur puri pada Arsitektur Perkotaan dapat terlihat pada pola penataan ruang kota dimana catus patha merupakan pusat orientasi dan distribusi sirkulasi kota dan menjadi Inti Gred (papan catur) kawasan kota.Dulu komplek Bangunan Puri sebagai orientasi sekarang komplek kantor Bupati menjadi Pusat orientasi karena disana ada pusat pelayanan masyarakat kabupaten.
            Pola tata ruang Makro (master Plan) Kantor Bupati abad 20 (tahun tujuh puluhan) dirancang dan dibangun menyerupai tata letak Puri seperti Kantor Bupati Gianyar,Tabanan dimana Mandala dibagi tiga (Utama,Madia,Nista).Nista Mandala di peruntukan untuk parkir untuk mencapainya dari jalan raya harus melewati Canda Bentar.Madia Mandala di peruntukan untuk Kantor Bupati dan untuk melewatinya harus melewati Kori sedangkan Utama Madia di peruntukan untuk tempat suci(Parnyangan).jumlah masa bangunan  cendrung banyak maksimal dua lantai memakai pola natah dengan ornamen.seperti ornamen Arsitektur Puri.dan jalan setapak pekarangan kantor terlihat dominan,mobil hanya sampai parkir.

Dengan Booming Pariwisata Bali (tahun delapan puluhan),Arsitektur Perkotaan berubah polanya.karena pengaruh Budaya luar (Wisatawan) yang mampu mengubah pandangan hidup pemakai,pembuat dan penikmat Arsitektur perkotaan dimana faktor Efisiensi dan kemewahan menjadi tujuan utama melalui kemudahan-kemudahan fasilitas Arsitektur.Orang-orang sudah malas jalan kaki dari Nista Mandala, Madia Mandala, Utama Mandala,maunya naik turun mobil di depan pintu bangunan tanpa kehujanan dan kena terik matahari.Hal ini membuat karya Arsitektur Perkotaan lebih Monolit dengan Sistem Lobby sebagai ruang penerima,malah beberapa bangunan mempunyai parkir di bawah tanah(Basemant)sehingga Nista Mandalanya terletak pada lantai bangunan dan menyebabkan Desain bangunan lebih komplek dan rumit karena adanya sirkulasi kombinasi antara manusia,Barang dan Kendaraan.
Namun begitu para Arsitektek tidak kehilangan akal dimana masa bangunan tadinya menyebar dengan Hirarki Mandala berjejer Horisontal berubah menjadi monolit dengan Hirarki Mandala bertumpuk secara Vertikal.Ancak Saji,Bale Bengong maupun Bale Kulkul yang ada pada pojok tata letak mandala.Puri diambil nuansana menjadi tower,ruang tangga pada pojok bangunan dengan atap Bale Bengong sehingga sekilas seperti Bale Kulkul atau Ancak Saji.
Begitu pula dengan Kori Agung yang di jaman kerajaan(Puri)di pasang antara jaba tengah dengan Jeroan sekarang Kori Agung di pasang dekat depan bangunan malah ada masuk dalam teras bangunan atau lobby bangunan.Dan banyak lagi contoh-contoh yang bisa dilihat dilapangan bahwa usaha-usaha mengadopsi Arsitektur Tradisional untuk diterapkan dalam Arsitektur perkotaan guna memenuhi tuntutan fungsi,aktifitas dan pandangan hidup warga kota.Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin kompleknya kebutuhan dan tuntutan manusia untuk memenuhi kepuasan dan kemewahan hidup fisik manusia melebihi tuntutan kenyamanan,keamanan dan ketenangan batinnya menyebabkan Arsitektur perkotaan semakin berat tugasnya dalam apresiasinya untuk menampung aspirasi warga kotanya.Tapi Arsitektur dan Arsiteknya dengan pengalaman dalam menjelajah ruang dan waktu akan selalu berusaha mencari solusi dan inovasi pemecahan masalah perkotaan yang semakin komplek,komplit dan rumit.Dalam rangka mempertahankan jati diri kota dari pengaruh budaya luar (Modernisasi).dalam era global di abad 21 maka Arsitektur Perkotaan mempertahankan identitasnya melalui Pemanfaatan Budaya lokal (Local Genius) seperti memasukkan Nuansa Arsitektur Puri dalam Arsitektur Perkotaan .”Semoga Berhasil”  

Rabu, 22 Agustus 2012

EXISTENSI ARSITEKTUR TAMAN BALI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR BALI


EXISTENSI ARSITEKTUR TAMAN BALI        SEBAGAI UPAYA

PELESTARIAN SUMBER DAYA AIR BALI


                                                                                                                                                                Oleh

                                                                         Ir.I.B.Arga Utama



Arsitektur Taman Bali memberi nuansa pada setiap Taman di Bali seperti yang banyak dilihat di Taman-Taman Hotel,Perkantoran,Perumahan dan Taman-Taman Kota.Sebagai ciri khas Taman Bali adalah Alami (Natural) dan mampu menampilkan nilai-nilai budaya Bali yang di jiwai Agama Hindu.Setiap Taman Bali terdiri dari Tiga komponen pembentuk Taman yang mempunyai sifat keras,lembut dan cair,karakter keras di tampilkan lewat Batu-Batuan (Batu Kali,Padas,Bata), Karakter lembut di tampilkan dengan tanah,tanaman sedangkan sifat cair di pakai air.Makanya setiap taman Bali selalu ada air,malah pada Taman Tradisional Bali Kuno semua air taman berasal dari sumber air yang dialirkan langsung ke taman dan selanjutnya disirkulasikan seperti yang kita lihat pada Taman Raja-Raja yang bergaya Taman Bali Seperti : Taman Ayun,Taman Ujung,Taman Tirta Gangga,Taman Kertagosa.Selain berfungsi sebagai keindahan,taman juga berfungsi sebagai penyerapan Air permukaan khususnya di musim hujan.dan juga mampu memberi nuansa spiritual dari elemen natural yang di tampilkan secara manual namun sesuai dengan tatanan nilai-nilai Estetika dan Etika yang didasari oleh pertimbangan-pertimbangan logika dari Intelektual penciptanya, Untuk itu maka pelestarian Taman Bali perlu dilakukan Sebagai Upaya Pelestarian Sumber Daya Air ( SDA ) Bali.

Elemen Air dalam Taman Tradisional Bali,memberikan peranan yang sangat penting dalam berbagai aspek seperti : Aspek Sosial Budaya,Aspek Sosial Ekonomi,Aspek Teknis termasuk Aspek Politis.
Peranan Air dalam Taman Tradisional Bali ditijau dari Aspek Sosial Budaya : Bicara aspek sosial budaya Bali tidak bisa lepas dari bicara Agama Hindu dan Adat Istiadat serta budayanya sendiri termasuk seninya karena memang berkaitan satu sama yang lain seperti yang kita ketahui bahwa dalam setiap prosesi Agama Hindu tidak bisa lepas dari peran air didalamnya baik berupa air suci (Tirta) atau air bersih (Toya Anyar) yang mana air tersebut diambil dari Taman Beji yang lokasinya dekat dengan Pura atau Kawasan Suci seperti pertemuan anak sungai (Campuhan) ,air terjun (Gerojogan),muara (Loloan),sumber air ditengah hutan,gunung dan laut.Taman-Taman suci ini juga disebut Taman Sari.Hampir di setiap Pura-Pura besar di Bali mempunyai Taman Beji tempat mencari air suci baik pembersihan maupun pemelukatan dan tirta untuk diparhyangan.Pada Taman Beji biasanya terdapat sumber air yang terus mengalir dengan jernih dari bebatuan yang dikelilingi oleh pohon-pohonan.Buangan air taman ini mengalir kesungai didekatnya atau menjadi hulu anak sungai.Selain berfungsi sebagai Air Suci Taman Beji juga berfungsi untuk pengobatan dan penyucian spiritual dan badan secara Niskala seperti yang ada di Pura Tirta Empul Tampak Siring.
·     Fungsi Air dalam Taman Tradisional Bali dari segi sosial ekonomi mempunyai peran penting bagi orang Bali,Air mempunyai nilai yang sangat strategis,karena hidup dan kehidupan masyarakat Bali tidak bisa lepas dari air.Selain berfungsi dari aspek sosial relegius yang telah dijelaskan diatas juga mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi.Dalam mengairi sawah-sawah meraka yang merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Bali dibawah organisasi sosial relegius yang dikenal dengan   “ Subak”.Melalui organisasi ini sistem pengairan di Bali di kelola secara arif dan bijaksana yang merupakan kearifan lokal (Local Genius).Didalam Subak kita kenal istilah Bendungan (Empelan),Bangunan Bagi (Temuku) dan Embung,yang berguna untuk mengatur managemen air di Bali. Selain untuk persawahan air juga dialirkan ke kolam penampungan lewat sistem pengaturan diatas. Kolam penampungan (Embung) bisa berupa kolam hias,kolam ikan yang ada di Taman Tradisional Bali yang ada di samping Pura-pura Subak,yang ada di Tegalan Ujung Hulu Subak.Lain halnya Taman-taman air yang ada di sekitar kawasan pusat-pusat kerajaan seperti Taman Ayun,Taman Ujung dan Taman Tirta Gangga,airnya bersumber dari sumber air (Telepusan) selain dari air subak.Kolam air yang ada di Taman-taman Kerajaan berfungsi sebagai tempat mandi,kolam hias,kolam pancing dan juga bisa berfungsi sebagai penampungan cadangan air di musim kemarau.
·     Dari Segi Teknis,kolam-kolam air yang ada di Taman-taman Tradisional Bali mempunyai kandungan nilai-nilai logika yang bisa dipertanggung-jawabkan secara akademis karena dibuat berdasarkan Kearifan Lokal (Local Genius) dari para Arsitek Bakul (Undagi) yang mempunyai Intelektual lokal yang di landasi oleh tata rancang-bangun. Tradisional Bali, sesuai konsep Tri Hita Karana yang di jiwai oleh Agama Hindu. Seperti yang kita lihat dalam tata letak kolam air. Sesuai dengan Hirarki fungsi (Parhyangan,Pawongan dan Pelemahan) sehingga mempengaruhi struktur dan bentuk Morfologi Taman. Yang dalam istilah teknis bisa berfungsi sebagai penunjang Estetika,sebagai penyangga Taman terkait dengan penghijauan dan kesuburan tanaman taman,sebagai kawasan penyangga lingkungan dalam pengendalian kebutuhan air,suhu,kelembaban lingkungan tersebut sehingga mampu menjadi media konservasi air. Makin banyak ada kolam-kolam air makin banyak pula reserve (Cadangan) air dimusim kemarau dan bisa dipakai cadangan air untuk pemadam kebakaran dan penyiraman pohon dan tanaman. 
·     Dari Aspek politis,kolam air pad ataman Bali mempunyai arti strategis di mana dengan kolam air ini pengamanan suatu aktifitas dari suatu tempat yang dipisahkan dengan kolam air terhadap tempat yang lain seperti yang kita lihat di Taman Ayun,Taman Oejoeng,Taman Kertagosa.Dipura Taman Ayun tempat sembahyang dikelilingi oleh kolam air yang lebar untuk memisahkan komplek pura dengan perkampungan atau areal public untuk memberi rasa aman,tenang,nyaman bagi orang yang sembahyang.Untuk mencapai pura harus melewati jembatan yang melintas diatas kolam.Orang yang melintasi jembatan harus hati-hati dan sekali-kali bercermin di air kolam yang mempunyai nilai intropeksi diri,mawas diri,dengan hati yang tenang melewati kolam air,yang sejuk,jernih dan tenang.Hal yang sama dirasakan di gedung pertemuan di Taman Kerta Gosa Puri Klungkung.Gedung pertemuan itu dikelilingi oleh kolam air yang menjadi kolam luas berupa katus(Tunjung) yang memberi epek bahwa bangunan itu seolah-olah berlayar di atas air,sosok dan keindahan bangunan itu tergambar terbalik di atas air,berupa ketinggian bangunan segitu kedalaman bangunan masuk kedalam air sehingga air memberi arti bahwa permukaan air yang tenang bias memberi keseimbangan gaya keatas-kebawah.Para petinggi kerajaan yang mengikuti pertemuan tidak bisa diganggu karena gedung pertemuan sudah dibatasi dan dipisahkan dengan kolam air.Orang bisa menuju ruang pertemuan hanya harus melewati jembatan sempit yang telah dijaga oleh petugas.Anggota peserta rapat harus disucikan melalui pembersihan hati dan perasaan mereka setelah melewati jembatan di atas kolam air yang mengelilingi gedung pertemuan tersebut.Begitu pula yang terlihat dan dirasakan pada ,ruang utama juga dikelilingi oleh kolam air yang sangat luas,disini air mempunyai sumber daya yang mampu merekfleksikan bahwa orang-orang yang ada dalam bangunan di tengah kolam(Bale Kambang) apabila dia berpandangan keluar akan melihat kolam yang luas,dalam dan datar,biru seperti warna langit,ini memberi arti bahwa orang-orang harus mempunyai pandangan yang luas,kajian yang dalam,pikiran yang datar,tenang dan mampu menyerap dan memantulkan serta mencerminkan jati diri sebagai identitas kebudayaan kita.Disini kita mendapat inspirasi dari sifat air kolam mengapresiasikan diri kita dalam berkreatifitas dan berinovasi untuk membangun daerah dan bangsa ini.Untuk itu pelestarian sumber daya air selalu dilakukan karena sumber daya air itu sendiri mampu membentuk karakter kita.Seperti kita ketahui bahwa bangsa yang tumbuh dan hidup di daerah kering dengan bangsa yang hidup di daerah banyak air akan lain budayanya
·     Penataan Taman air dibuat sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang maksimal dari fungsi air itu sendiri dengan konsep Tri Hita Karana yang diterapkan secara efektif dan efisien dengan azas keberlanjutan dan berkesinambungan dalam rangka memberi nilai tambah Sosial,Ekonomi,Budaya dan peningkatan kualitas lingkungan.Melalui taman-taman air ini,kita mampu memberi arti dan makna dari keberadaan air di alam ini terhadap kehidupan manusia dan kelangsungannya,sehingga usaha penyelamatan air sangatlah penting dan mutlak hukumnya.Air sangat berarti dirasakan apabila kekeringan lebih-lebih di musim kemarau.Seperti yang kita ketahui didaerah-daerah krisis dan kritis air antara lain di Ujung timur Pulau Bali yakni di daerah Karangasem dan buleleng termasuk juga di pulau Nusa Penida.Sehingga penulis sangat berharap melalui tulisan ini mampu membuka wawasan dan kepedulian terhadap keberadaan air sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Widhi Wase melalui manifestasinya Dewa Wisnu yang memelihara alam ini beserta isinya patut kita lestarikan dengan cara yang sederhana yakni memelihara Taman-taman Tradisional Bali yang ada yang merupakan bentuk upaya pendahulu kita dalam konservasi sumber daya air Bali.Malu kalau generasi penerus tidak menghargai karyanya untuk itu maka      kita  “ Mari kita buat Arsitektur Taman Air yang bernuansa Tradisional Bali”.Selamatkan air ibu pertiwi sebelum kekeringan.              

Kamis, 31 Maret 2011

PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN SPASIAL KOTA

PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN SPASIAL KOTA
Oleh:
 Ida Bagus Putu Arga Uthama

Abstrak
Pasca crisis moneter pertengahan 1997, Indonesia melakukan reformasi kebijakan, seperti perubahan paradigma tata kelola pemerintahan  dari centralisasi ke desentralisasi. Yang diikuti dengan penggeseran paradigma pembangunan nasional, dari top down ke bottom up. Telah banyak kebijakan yang dibuat dalam rangka regulasi pelaksanaan perubahan paradigma tersebut diatas. Mulai dari demokrasisasi, debirokrasisasi, dan deregulasisasi. Pergeseran paradigma pembangunan dari government menjadi governance yang intinya adalah persoalan/masalah Publio adalah urusan bersama pemerintah, civil society dan dunia usaha sebagai pilar utamanya. Hal ini dilakukan untuk menggantikan ketidakmampuan pemerintah dan dunia usaha menghadapi crisis yang terjadi, baik crisis ekonomi,maupun crisis demokrasi. Dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator. Motivador dan inspirador dalam pembangunan. Peran serta masyarakat (civil society) dan dunia usaha sangat diharapkan keterlibatannya dalam pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Diharapkan melalui paradigma governance, akan didapatkan pemerintahan yang baik dan bersih, dunia usaha yang kokoh, serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pembangunan. Sehingga tercapai hasil pembangunan yang efektif dan efisien, berdaya guna dan berdaya hasil. Untuk mewujudkan masyarakat yang madani dan bangsa yang mandiri, demi meningkatkan martabat dan hargadiri. Untuk itu dalam setiap proses pembangunan, harus melibatkan ketiga pilar utama pelaku pembangunan diatas. Begitu pula dalam implementasi manajemen spasial kota, harus dilaksanakan secara menyeluruh, sinergis dengan beberapa demensi.

Kata kunci: Reformasi Paradigma Pembangunan, Sinergis Pelaku Pembangunan.

I PENDAHULUAN
Kegagalan pemerintah dalam tata kelola negara dan pemerintahannya, serta ketidakmampuan dunia usaha dalam menangani perekonomian nasional, yang puncaknya terlihat saat crisis moneter juli tahun 1997, yang dikuti dengan turunnya Pak Harto dari tapuk kepemimpinan nasional tahun 1998, yang dilanjutkan dengan crisis multi demensi. Sehingga tibalah saatnya untuk mereformasi kebijakan nasional, sebagai salah satu perangkat dalam rangka perbaikan dan sekaligus sebagai  regulasi menata tata kelola negara dan pemerintahan, untuk segera mungkin keluar dari crisis mundi demensi tersebut. Salah sat yang dilakukan pemerintah adalah penggeseran paradigma pembangunan dari Government menjadi Governance yang intinya adalah persoalan/masalah Publio adalah urusan bersama pemerintah (government), masyarakat (sivil society), dan dunia usaha (Corporate), sebagai pilar utama pembangunan. Ketiga pihak harus bekerja secara sinergis, terpadu, dan menyeluruh, sehingga terjadi keseimbangan hak, kewajiban dan wewenang, berdasarkan asas keadilan, kesetaraan, keterbukaan, sehingga tercapai hasil pembangunan yang berdaya guna (efektif) dan berdaya hasil (efisien). Sebagai sebuah kasus, diterapkan dalam implementasi manajemen spasial kota, dimana dalam pelaksanaan manajemen spasial kota, harus dilakukan dengan pendekatan empat demensi (teknis-kemasyarakatan, komplek wilayah, sinergis spasial, dan sinergis fungsional).

II GOOD  GOVERNANCE
Good Governance (GG) adalah bagaimana mengelola pemerintahan yang baik dalam suatu negara.
Menurut Prof. Dr. Azhar Kasim, mengartikan istilah governance sebagai proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan  (social, ekonomi, politik, dsb) dalam statu negara dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, serta penggunaan sumber daya (alam, keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsisp-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas (Setiono, 2000:60). Dengan kata lain GG adalah governance yang dilaksanakan secara good.  Pada pengembangannya, GG bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu penerapan GG di sector swasta (good corporate governace/GCG) dan birokrasi negara (good government governance/GGG). Kedua kelompok ini merupakan dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. GCG bisa diterapkan pada pemerintah (birokrasi) negara yang telah menerapkan GGG, begitu pula sebaliknya GGG nidal bisa dilaksanakan apabila tidak mendapat dukungan GCG.
Menurut Prof. Dr. Bintaro Tjokroamidjojo, GG hanya dapat direalisasi apabila ada koordinasi, bahkan sinergis yang baik antara goverment di sector publik (pemerintah) dengan  governance disector swasta, agar menghasilkan transactional output yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat.  Dalam konteks Indonesia, menurut Bintaro, agenda governance sector Publio yang paling penting adalah clean government.
Lebih jauh, Bintaro mengatakan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam agenda clean government. Pertama, pembersihan korupsi, kolusi, kroniisme, dan nepotisme (KKKN). Kedua, disiplin budget dan penghapusan public fund di luar budget. Ketiga, penguatan fungsi pengawasan.
Visi good governance, yang mampu mewujudkan enam aspek kehidupan kota,yaitu ;
(1)   Mengembalikan fungsi dan sifat demokratis yang sebenarnya;
(2)   Menciptakan sistem kerja yang accountable;
(3)   Menciptakan mekanisme kerja yang transparan;
(4)   Mempunyai kemanpuan untuk bekerja sama dengan berbagai kalangan dalam masyarakat;
(5)   Mempunyai kepedulian yang besar terhadap penduduk  miskin di kota dengan mengentaskan mereka  dari kemiskinan dam memberdayakan mereka di sektor ekonomi(menuntaskan the brown agenda);
(6)   Mempunyai kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup (the green agenda) dalam rangka komitmen yang besar terhadap suatainable development dengan orientasi yang mantap terhadap intra generation, inter generation,intra frontier dan inter resposibilility.(Mitlin dan Satterthwaite:1996, dalamYunus HS:2005).

III DEMENSI IMPLEMENTASI MANAGEMEN SPASIAL KOTA
Untuk mewujudkan good governance tersebut diatas, dalam perspektif managemen  spasial, perlu dipahami secara mendalam empat hal, yaitu ;
(1)   Paradigma Teknis - Kemasyarakatan (Community-Technical Paradigm);
(2)   Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach);
(3)   Sinergi spasial (Spatial Synergism);
(4)   Sinergi Fungsional (Functional Synergism).

3.1. Paradigma Teknis –Kemasyarakatan (Community-Technical Paradigm)
 Pada umumnya ada dua paradigma pembangunan yang dikenal, yaitu :
(1)   Paradigma Keteknikan (Technical Paradigm) , dan
(2)   Paradigma Kemasyarakatan (Community Paradigm)
Paradigma keteknikan menekankan pada metode ilmiah sebagai cara yang dianggap obyektif  untuk menyajikan informasi lepada pengambil keputusan. Model ini  pada asumsi bahwa keputusan yang baik adalah keputusan yang rasional, obyektif dan mendasarkan pada parameter-parameter yang terukur. Informasi mana haruslah bersifat ilmiah, bersifat bebas nilai (value free) dan besifat kuantitatif(Sudharta,1995). Sifat ini hendaknya selalu dipertahankan agar paradigma  pembangunan yang digunakan agar selalu ajeg dan diterapkan dimanapun juga. Daearah-daearah lain dapat mengacu tanpa harus menafsirkan nilai-nilai baru yang membingungkan karena semua parameter yang digunakan telah terukur.
Paradigma Kemasyarakatan, menekankan pada  kebutuhan, sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat, yang secara potencial akan mengalami dampak dari pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini partisipasi masyarakat sangat besar keterlibatannya dalam proses pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan oprasional. Kemampuan untuk memahami  sikap, prilaku dan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi-friksi social, budaza, agama,  kepercayaan dan psikoloigis. Apabila hal-hal ini mencuat kepermukaan, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu Namur kegiatan /proses pembangunan yang sedang dilaksanakan mengalami gangguan pelaksanaaanya , sehingga akibatnya kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya tentunya Sangat besar. Sifat analisisnya tidak lagi kuantitatif namun lebih ditekankan pada analisa kualitatif.
Kedua paradigma diatas, mempunyai keungulan dan kelemahan masing-maing. Tidak setiap paradigma yang dipakai di statu negara akan cocok dipakai dinegara yang lain, untuk itu diperlukan kearifan dalam memilih paradigma pembangunan yang tepat, agar pelaksanaan pembangunan akan efektif dan efisien.

2.2. Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach)
Pendekatan ini dikembangkan dalam kajian Geografis  sebagai bentuk penggabungan dari pendekatan spasial(spatial approach) dan pendekatan ekologis(ecological approach). Pendekatan spatial adalah suatu metode untuk mempelajari fenomena geosfer dengan menggunakan ruang sebagai media untuk analisis. Pendekatan spasial sering disebut dengan istilah pendekatan horizontal, karena dimensi keruangan yang dimunculkan lebih menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tedensi, asosiasi, interaksi elemen-elemen geosfer dalam suatu hamparan bidang permikaan bumi.Dalam hal ini upaya untuk mengungkapkan kekhasan ruang ditinjau dari  variasi lokasional elemen-elemen geosfir. Seperti tingkat kepadatan penduduk di suatu kota berbeda (padat,sedang dan rendah).
Pendekatan  spasial, menekankan pendekatan analisis pembandingan kekhasan lokasional spasial,Sedangkan dalam pendekatan ekologis, penekanan utamanya  mengelaborasi  intens tentang keterkaitan elemen-elemen lingkungan dengan makhluk hidup atau aspek-aspek kehidupannya. Beberapa tema yang dikembangkan dalam pendekatan ekologi ,yaitu keterkaitan antara manusia(behaviour,perception) dengan elemen-elemen lingkungan,  keterkaitan antara kegitan manusia dengan elemen  lingkungan., keterkaitan antara physico-artificial features dengan elemen-elemen lingkungan dan keterkaitan antara physico natural features  dengan elemen-elemen lingkungan.
            Pendekatan kompleks wilayah didasari oleh pemahaman  yang mendalam mengenai  keberadaan suatu wilayah  sebagai suatu sistem, dimana didalamnya terdapat banyak sekali subsistem dan didalamnya banyak sekali elemen-elemen walayah  yang saling keterkaitan. Keterkaitan mana dapat membentuk keterkaitan mempengaruhi(actional), keterkaitan saling mempengaruhi(inter actional) keterkaitan  tergantung(dependent) dan keterkaitan saling mempengaruhi(inter dependent) Keempat jenis keterkaitan ini harus dipahami benar dalam upaya manageman ruang,khususnya managemen lahan sehingga keterkaitan antar elemen maupun keterkaitan antar subsistem dapat dikenali dan secara arif dapat diketahui hubungan sebab-akibat(kausal) antar elemen wilayah. Dari sinilah titik tolak dalam merumuskan kebijakan keruangannya. Kompleksitasnya elemen wilayah  yang terjalin dalam suatu prangkat sistem, mengandung pengertian bahwa terjadinya perubahan pada sutau elemen atau subsitem wilayah akan dapat mempengaruhi sifat atau keberadaan elemen lain atau susbsistem wilayah yang lain. Ide itulah yang mewarnai the spirit of sustainability itu sendiri. Konsep sustainable , terdiri dari empat dimensi utama,yaitu ; intra generation dimension inter generation dimension, intra frontier dimension dan inter frontier dimension.

3.3. Sinergisme Spasial(spatial synergism)
Ide untuk memberdayakan potensi wilayah sedemikian rupa, sehingga produk akhir yang akan dicapai oleh suatu wilayah  dapat jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan produk akhir  dari pada wilayah yang hanya berdiri sendiri. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan otonomi daearah, seolah-olah  masing-masing wilayah harus melaksanakan proses pembangunannya berdasarkan potensi wilayahnya sendiri. Sehingga terjadilah exploitasi besar-besaran wilayahnya tanpa melihat, bahwa kerjasama antar wilayah bisa saling membantu/menguntungkan, tidak harus semuanya di dapatkan dari wilayah sendiri.
Kerja sama antara dua wilayah atau lebih, banyak ditemui diIndonesia seperti Jabotabek(Jakarta,Bogor,Tangerang,Bekasi), Sarbagita (Denpasar, Badung, Ginyar Tabanan). Namun didak banyak dampak positifnya, terutama masalah kemajuan pertumbuhan ekonominya. Hal ini disebabkan karena  tidak adanya konsep yang jelas mengenai visi yang harus dicapai dan misi yang harus dijalankan oleh beberapa wilayah yang ikut dalam group kerja sama. Sehingga konsep sinergisme spasial yang dilakukan oleh beberapa wilayah , hanya menciptakan istilah hanyalah latah saja. Sementara konsep sinergisme spasial yang sudah berhasil adalah sinergisme spasial  delapan wilayah kabupaten dan satu kota dalam kerjasama pengembangn pariwisata Bali. Masing wilayah memiliki kekhasannya, sehinga bisa saling melengkapi. Sehingga bisa mengindari conflict of intrest , yang merugitan satu dengan yang lain. baik. Bentuk kerja sama, bisa horizontal (wilayah sederajat) dan vertical(wilayah yang berbeda tingkatannya).



3.4. Sinergisme Fungsional (Function Synergism)
Sinergi fungsional  juga mempunyai tujuan untuk optimalisasi hasil pembangunan dengan penggabungan berbagai  pihak yang lebih baik dibandingkan dengan apabila berdiri sendiri.  Kalau dalam hal sinergisme spasial , merupakan penggabungan ruang/wilayah/daerah, sedangkan dalam sienergisme fungsional menekankan pada kegiatan dan institusi yang berkompeten menanganinya. Pada sinergisme spasial melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda, maka dalam sinergisme fungsional  melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda maupun ruang yang sama namun berbagai fungsi/kegiatan yang bervariasi.
Sinergisme fungsional  dalam ruang yang sama harus diusahakan dalam rangka optimsalisasi hasil pembangunan. Upaya mengindari adanya conflict of interest dan  overlapping antar institusi yang menangani program pembangunan yang sama atau yang berkaitan melalui bekerja sama. Pengalaman berbagai Negara menunjukkan adanya inefficiency yang menyebabkan pemborosan(waktu, tenaga,biaya,) dan keterlantaran obyek pembangunan, yang disebabkan oleh ketidak sinergisme fungsioal antara institusi dalam satu wilayah pembangunan (Drakakis-Smit,1980). Seperti contoh, masalah penanganan permukiman kumuh di perkotaan, siapakah yang bertanggung jawab ( DPU,DepSos,DepKes,). Kejelasan kewenangan membawa konsekuensi  financial yang harus dikeluarkan dalam penanganan program pembangunan. Saling lempar tanggung jawab akan mengakibatkan keterlantaran atau tidak tertanganinya masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab.
Sinergisme fungsional  anatara institusi dalam ruang/ daerah/wilayah yang sama perlu diatur untuk menentukan tugas dan wewenang,sehingga menanganan program pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Walaupun dalam beberapa hal, terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan waktu , namun apabila penugasan( job descriptions) telah jelas , maka semua tindakan yang dilakukan oleh institusi  yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan akhir yang sama. Sinergisme fungsional dapat juga dilaksanakan antar ruang/daerah/wilayah yang berbeda pula. Sebagai contoh, dapat dikemukakan disini, yaitu kerjasama antara DPU Provinsi Jatim dengan Provinsi Jateng dalam menangani Das Bengawan Solo, antara Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Bantul dalam penanganan program prokasih dan penanganan limbah, kerjasama antara Dinas Pariwisata Kabupaten Banjar Negara dengan Kabupaten Wonosobo dalam pengelolaan obyek wisata Dieng  dan lainnya.
Sebagaimana sinergisme spasial, sinergisme fungsional dapat dilaksanakan secara horizontal maupun vertical. Beberapa contoh diatas merupakan sinergisme funsional yang bersifat horizontal. Bentuk sinergisme fungsional seharusnya tercipta secara otomatis, karena kebijakan pengembangan tertentu  seharusnya telah dirumuskan oleh institusi dengan starus lebih tinggi dan akan menjadi panduan bagi institusi yang berstatus lebih rendah.
Sinergisme  fungsional dapat terjadi secara lintas sektoral  baik horizontal maupun vertical. Kerjasama antara institusi  yang menangani kebudayaan dan institusi yang mengangani kepariwisataan dalam upaya meningkatkan PAD merupakan contoh yang baik. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian  yang lebih baik adalah mengenai formulasi  sinergisme fungsional yang dilaksanakan. Kebanyakan  kerjasama lintas sektoral maupun antarsktorral yang sama tidak  disertai dengan perumusan yang jelas mengenai visi kerjasama dan misi yang harus dilaksanakan serta keunggulan komparatif dan kompetitif yang dapat dimunculkan dari kerjasama yang dilaksanakan.
Suatu hal penting yang perlu diingat dan dihayati adalah  jiwa dari sinergisme spasial dan horizontal yang disepakati. Sinergisme bukan kerjasama biasa, namun  merupakan bentuk kerja sama yang akan mengasilkan suatu yang mempunyai nilai lebih besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai apabila ruang , institusi  atau kegiatan yang ada berdiri sendiri.

IV KESIMPULAN
Untuk mengasilkan pemerintahan yang berwibawa dan perekonomi negara yang kuat, serta masyarakat yang madani dan bangsa yang mandiri, perlu pemerintah melakukan reformasi tata kelola negara, melalui pergeseran paradigma pembengunan. Dari government ke governance. Dengan pendekatan pembangunan yang sinergis, efektif dan efisien,seperti misalnya melalui empat demensi implementasi manajemen spasial kota. Terjadi koordinasi yang terpadu, menyeluruh antara tiga pilar utama pelaku pembangunan (pemerintah,masyarakat, dan dunia usaha), dengan asas keadilan, kesetaraan dan manfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Setiono, J. 2000. Good Governance. Manajemen Usahawan Indonesia, halm. 60
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.