Kamis, 31 Maret 2011

PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN SPASIAL KOTA

PERGESERAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN SPASIAL KOTA
Oleh:
 Ida Bagus Putu Arga Uthama

Abstrak
Pasca crisis moneter pertengahan 1997, Indonesia melakukan reformasi kebijakan, seperti perubahan paradigma tata kelola pemerintahan  dari centralisasi ke desentralisasi. Yang diikuti dengan penggeseran paradigma pembangunan nasional, dari top down ke bottom up. Telah banyak kebijakan yang dibuat dalam rangka regulasi pelaksanaan perubahan paradigma tersebut diatas. Mulai dari demokrasisasi, debirokrasisasi, dan deregulasisasi. Pergeseran paradigma pembangunan dari government menjadi governance yang intinya adalah persoalan/masalah Publio adalah urusan bersama pemerintah, civil society dan dunia usaha sebagai pilar utamanya. Hal ini dilakukan untuk menggantikan ketidakmampuan pemerintah dan dunia usaha menghadapi crisis yang terjadi, baik crisis ekonomi,maupun crisis demokrasi. Dalam hal ini pemerintah sebagai fasilitator. Motivador dan inspirador dalam pembangunan. Peran serta masyarakat (civil society) dan dunia usaha sangat diharapkan keterlibatannya dalam pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. Diharapkan melalui paradigma governance, akan didapatkan pemerintahan yang baik dan bersih, dunia usaha yang kokoh, serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pembangunan. Sehingga tercapai hasil pembangunan yang efektif dan efisien, berdaya guna dan berdaya hasil. Untuk mewujudkan masyarakat yang madani dan bangsa yang mandiri, demi meningkatkan martabat dan hargadiri. Untuk itu dalam setiap proses pembangunan, harus melibatkan ketiga pilar utama pelaku pembangunan diatas. Begitu pula dalam implementasi manajemen spasial kota, harus dilaksanakan secara menyeluruh, sinergis dengan beberapa demensi.

Kata kunci: Reformasi Paradigma Pembangunan, Sinergis Pelaku Pembangunan.

I PENDAHULUAN
Kegagalan pemerintah dalam tata kelola negara dan pemerintahannya, serta ketidakmampuan dunia usaha dalam menangani perekonomian nasional, yang puncaknya terlihat saat crisis moneter juli tahun 1997, yang dikuti dengan turunnya Pak Harto dari tapuk kepemimpinan nasional tahun 1998, yang dilanjutkan dengan crisis multi demensi. Sehingga tibalah saatnya untuk mereformasi kebijakan nasional, sebagai salah satu perangkat dalam rangka perbaikan dan sekaligus sebagai  regulasi menata tata kelola negara dan pemerintahan, untuk segera mungkin keluar dari crisis mundi demensi tersebut. Salah sat yang dilakukan pemerintah adalah penggeseran paradigma pembangunan dari Government menjadi Governance yang intinya adalah persoalan/masalah Publio adalah urusan bersama pemerintah (government), masyarakat (sivil society), dan dunia usaha (Corporate), sebagai pilar utama pembangunan. Ketiga pihak harus bekerja secara sinergis, terpadu, dan menyeluruh, sehingga terjadi keseimbangan hak, kewajiban dan wewenang, berdasarkan asas keadilan, kesetaraan, keterbukaan, sehingga tercapai hasil pembangunan yang berdaya guna (efektif) dan berdaya hasil (efisien). Sebagai sebuah kasus, diterapkan dalam implementasi manajemen spasial kota, dimana dalam pelaksanaan manajemen spasial kota, harus dilakukan dengan pendekatan empat demensi (teknis-kemasyarakatan, komplek wilayah, sinergis spasial, dan sinergis fungsional).

II GOOD  GOVERNANCE
Good Governance (GG) adalah bagaimana mengelola pemerintahan yang baik dalam suatu negara.
Menurut Prof. Dr. Azhar Kasim, mengartikan istilah governance sebagai proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan  (social, ekonomi, politik, dsb) dalam statu negara dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, serta penggunaan sumber daya (alam, keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsisp-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas (Setiono, 2000:60). Dengan kata lain GG adalah governance yang dilaksanakan secara good.  Pada pengembangannya, GG bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu penerapan GG di sector swasta (good corporate governace/GCG) dan birokrasi negara (good government governance/GGG). Kedua kelompok ini merupakan dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. GCG bisa diterapkan pada pemerintah (birokrasi) negara yang telah menerapkan GGG, begitu pula sebaliknya GGG nidal bisa dilaksanakan apabila tidak mendapat dukungan GCG.
Menurut Prof. Dr. Bintaro Tjokroamidjojo, GG hanya dapat direalisasi apabila ada koordinasi, bahkan sinergis yang baik antara goverment di sector publik (pemerintah) dengan  governance disector swasta, agar menghasilkan transactional output yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat.  Dalam konteks Indonesia, menurut Bintaro, agenda governance sector Publio yang paling penting adalah clean government.
Lebih jauh, Bintaro mengatakan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam agenda clean government. Pertama, pembersihan korupsi, kolusi, kroniisme, dan nepotisme (KKKN). Kedua, disiplin budget dan penghapusan public fund di luar budget. Ketiga, penguatan fungsi pengawasan.
Visi good governance, yang mampu mewujudkan enam aspek kehidupan kota,yaitu ;
(1)   Mengembalikan fungsi dan sifat demokratis yang sebenarnya;
(2)   Menciptakan sistem kerja yang accountable;
(3)   Menciptakan mekanisme kerja yang transparan;
(4)   Mempunyai kemanpuan untuk bekerja sama dengan berbagai kalangan dalam masyarakat;
(5)   Mempunyai kepedulian yang besar terhadap penduduk  miskin di kota dengan mengentaskan mereka  dari kemiskinan dam memberdayakan mereka di sektor ekonomi(menuntaskan the brown agenda);
(6)   Mempunyai kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup (the green agenda) dalam rangka komitmen yang besar terhadap suatainable development dengan orientasi yang mantap terhadap intra generation, inter generation,intra frontier dan inter resposibilility.(Mitlin dan Satterthwaite:1996, dalamYunus HS:2005).

III DEMENSI IMPLEMENTASI MANAGEMEN SPASIAL KOTA
Untuk mewujudkan good governance tersebut diatas, dalam perspektif managemen  spasial, perlu dipahami secara mendalam empat hal, yaitu ;
(1)   Paradigma Teknis - Kemasyarakatan (Community-Technical Paradigm);
(2)   Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach);
(3)   Sinergi spasial (Spatial Synergism);
(4)   Sinergi Fungsional (Functional Synergism).

3.1. Paradigma Teknis –Kemasyarakatan (Community-Technical Paradigm)
 Pada umumnya ada dua paradigma pembangunan yang dikenal, yaitu :
(1)   Paradigma Keteknikan (Technical Paradigm) , dan
(2)   Paradigma Kemasyarakatan (Community Paradigm)
Paradigma keteknikan menekankan pada metode ilmiah sebagai cara yang dianggap obyektif  untuk menyajikan informasi lepada pengambil keputusan. Model ini  pada asumsi bahwa keputusan yang baik adalah keputusan yang rasional, obyektif dan mendasarkan pada parameter-parameter yang terukur. Informasi mana haruslah bersifat ilmiah, bersifat bebas nilai (value free) dan besifat kuantitatif(Sudharta,1995). Sifat ini hendaknya selalu dipertahankan agar paradigma  pembangunan yang digunakan agar selalu ajeg dan diterapkan dimanapun juga. Daearah-daearah lain dapat mengacu tanpa harus menafsirkan nilai-nilai baru yang membingungkan karena semua parameter yang digunakan telah terukur.
Paradigma Kemasyarakatan, menekankan pada  kebutuhan, sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat, yang secara potencial akan mengalami dampak dari pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini partisipasi masyarakat sangat besar keterlibatannya dalam proses pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan oprasional. Kemampuan untuk memahami  sikap, prilaku dan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi-friksi social, budaza, agama,  kepercayaan dan psikoloigis. Apabila hal-hal ini mencuat kepermukaan, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu Namur kegiatan /proses pembangunan yang sedang dilaksanakan mengalami gangguan pelaksanaaanya , sehingga akibatnya kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya tentunya Sangat besar. Sifat analisisnya tidak lagi kuantitatif namun lebih ditekankan pada analisa kualitatif.
Kedua paradigma diatas, mempunyai keungulan dan kelemahan masing-maing. Tidak setiap paradigma yang dipakai di statu negara akan cocok dipakai dinegara yang lain, untuk itu diperlukan kearifan dalam memilih paradigma pembangunan yang tepat, agar pelaksanaan pembangunan akan efektif dan efisien.

2.2. Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach)
Pendekatan ini dikembangkan dalam kajian Geografis  sebagai bentuk penggabungan dari pendekatan spasial(spatial approach) dan pendekatan ekologis(ecological approach). Pendekatan spatial adalah suatu metode untuk mempelajari fenomena geosfer dengan menggunakan ruang sebagai media untuk analisis. Pendekatan spasial sering disebut dengan istilah pendekatan horizontal, karena dimensi keruangan yang dimunculkan lebih menonjolkan sebaran, pola, struktur, organisasi, proses, tedensi, asosiasi, interaksi elemen-elemen geosfer dalam suatu hamparan bidang permikaan bumi.Dalam hal ini upaya untuk mengungkapkan kekhasan ruang ditinjau dari  variasi lokasional elemen-elemen geosfir. Seperti tingkat kepadatan penduduk di suatu kota berbeda (padat,sedang dan rendah).
Pendekatan  spasial, menekankan pendekatan analisis pembandingan kekhasan lokasional spasial,Sedangkan dalam pendekatan ekologis, penekanan utamanya  mengelaborasi  intens tentang keterkaitan elemen-elemen lingkungan dengan makhluk hidup atau aspek-aspek kehidupannya. Beberapa tema yang dikembangkan dalam pendekatan ekologi ,yaitu keterkaitan antara manusia(behaviour,perception) dengan elemen-elemen lingkungan,  keterkaitan antara kegitan manusia dengan elemen  lingkungan., keterkaitan antara physico-artificial features dengan elemen-elemen lingkungan dan keterkaitan antara physico natural features  dengan elemen-elemen lingkungan.
            Pendekatan kompleks wilayah didasari oleh pemahaman  yang mendalam mengenai  keberadaan suatu wilayah  sebagai suatu sistem, dimana didalamnya terdapat banyak sekali subsistem dan didalamnya banyak sekali elemen-elemen walayah  yang saling keterkaitan. Keterkaitan mana dapat membentuk keterkaitan mempengaruhi(actional), keterkaitan saling mempengaruhi(inter actional) keterkaitan  tergantung(dependent) dan keterkaitan saling mempengaruhi(inter dependent) Keempat jenis keterkaitan ini harus dipahami benar dalam upaya manageman ruang,khususnya managemen lahan sehingga keterkaitan antar elemen maupun keterkaitan antar subsistem dapat dikenali dan secara arif dapat diketahui hubungan sebab-akibat(kausal) antar elemen wilayah. Dari sinilah titik tolak dalam merumuskan kebijakan keruangannya. Kompleksitasnya elemen wilayah  yang terjalin dalam suatu prangkat sistem, mengandung pengertian bahwa terjadinya perubahan pada sutau elemen atau subsitem wilayah akan dapat mempengaruhi sifat atau keberadaan elemen lain atau susbsistem wilayah yang lain. Ide itulah yang mewarnai the spirit of sustainability itu sendiri. Konsep sustainable , terdiri dari empat dimensi utama,yaitu ; intra generation dimension inter generation dimension, intra frontier dimension dan inter frontier dimension.

3.3. Sinergisme Spasial(spatial synergism)
Ide untuk memberdayakan potensi wilayah sedemikian rupa, sehingga produk akhir yang akan dicapai oleh suatu wilayah  dapat jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan produk akhir  dari pada wilayah yang hanya berdiri sendiri. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan otonomi daearah, seolah-olah  masing-masing wilayah harus melaksanakan proses pembangunannya berdasarkan potensi wilayahnya sendiri. Sehingga terjadilah exploitasi besar-besaran wilayahnya tanpa melihat, bahwa kerjasama antar wilayah bisa saling membantu/menguntungkan, tidak harus semuanya di dapatkan dari wilayah sendiri.
Kerja sama antara dua wilayah atau lebih, banyak ditemui diIndonesia seperti Jabotabek(Jakarta,Bogor,Tangerang,Bekasi), Sarbagita (Denpasar, Badung, Ginyar Tabanan). Namun didak banyak dampak positifnya, terutama masalah kemajuan pertumbuhan ekonominya. Hal ini disebabkan karena  tidak adanya konsep yang jelas mengenai visi yang harus dicapai dan misi yang harus dijalankan oleh beberapa wilayah yang ikut dalam group kerja sama. Sehingga konsep sinergisme spasial yang dilakukan oleh beberapa wilayah , hanya menciptakan istilah hanyalah latah saja. Sementara konsep sinergisme spasial yang sudah berhasil adalah sinergisme spasial  delapan wilayah kabupaten dan satu kota dalam kerjasama pengembangn pariwisata Bali. Masing wilayah memiliki kekhasannya, sehinga bisa saling melengkapi. Sehingga bisa mengindari conflict of intrest , yang merugitan satu dengan yang lain. baik. Bentuk kerja sama, bisa horizontal (wilayah sederajat) dan vertical(wilayah yang berbeda tingkatannya).



3.4. Sinergisme Fungsional (Function Synergism)
Sinergi fungsional  juga mempunyai tujuan untuk optimalisasi hasil pembangunan dengan penggabungan berbagai  pihak yang lebih baik dibandingkan dengan apabila berdiri sendiri.  Kalau dalam hal sinergisme spasial , merupakan penggabungan ruang/wilayah/daerah, sedangkan dalam sienergisme fungsional menekankan pada kegiatan dan institusi yang berkompeten menanganinya. Pada sinergisme spasial melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda, maka dalam sinergisme fungsional  melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda maupun ruang yang sama namun berbagai fungsi/kegiatan yang bervariasi.
Sinergisme fungsional  dalam ruang yang sama harus diusahakan dalam rangka optimsalisasi hasil pembangunan. Upaya mengindari adanya conflict of interest dan  overlapping antar institusi yang menangani program pembangunan yang sama atau yang berkaitan melalui bekerja sama. Pengalaman berbagai Negara menunjukkan adanya inefficiency yang menyebabkan pemborosan(waktu, tenaga,biaya,) dan keterlantaran obyek pembangunan, yang disebabkan oleh ketidak sinergisme fungsioal antara institusi dalam satu wilayah pembangunan (Drakakis-Smit,1980). Seperti contoh, masalah penanganan permukiman kumuh di perkotaan, siapakah yang bertanggung jawab ( DPU,DepSos,DepKes,). Kejelasan kewenangan membawa konsekuensi  financial yang harus dikeluarkan dalam penanganan program pembangunan. Saling lempar tanggung jawab akan mengakibatkan keterlantaran atau tidak tertanganinya masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab.
Sinergisme fungsional  anatara institusi dalam ruang/ daerah/wilayah yang sama perlu diatur untuk menentukan tugas dan wewenang,sehingga menanganan program pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Walaupun dalam beberapa hal, terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan waktu , namun apabila penugasan( job descriptions) telah jelas , maka semua tindakan yang dilakukan oleh institusi  yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan akhir yang sama. Sinergisme fungsional dapat juga dilaksanakan antar ruang/daerah/wilayah yang berbeda pula. Sebagai contoh, dapat dikemukakan disini, yaitu kerjasama antara DPU Provinsi Jatim dengan Provinsi Jateng dalam menangani Das Bengawan Solo, antara Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Bantul dalam penanganan program prokasih dan penanganan limbah, kerjasama antara Dinas Pariwisata Kabupaten Banjar Negara dengan Kabupaten Wonosobo dalam pengelolaan obyek wisata Dieng  dan lainnya.
Sebagaimana sinergisme spasial, sinergisme fungsional dapat dilaksanakan secara horizontal maupun vertical. Beberapa contoh diatas merupakan sinergisme funsional yang bersifat horizontal. Bentuk sinergisme fungsional seharusnya tercipta secara otomatis, karena kebijakan pengembangan tertentu  seharusnya telah dirumuskan oleh institusi dengan starus lebih tinggi dan akan menjadi panduan bagi institusi yang berstatus lebih rendah.
Sinergisme  fungsional dapat terjadi secara lintas sektoral  baik horizontal maupun vertical. Kerjasama antara institusi  yang menangani kebudayaan dan institusi yang mengangani kepariwisataan dalam upaya meningkatkan PAD merupakan contoh yang baik. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian  yang lebih baik adalah mengenai formulasi  sinergisme fungsional yang dilaksanakan. Kebanyakan  kerjasama lintas sektoral maupun antarsktorral yang sama tidak  disertai dengan perumusan yang jelas mengenai visi kerjasama dan misi yang harus dilaksanakan serta keunggulan komparatif dan kompetitif yang dapat dimunculkan dari kerjasama yang dilaksanakan.
Suatu hal penting yang perlu diingat dan dihayati adalah  jiwa dari sinergisme spasial dan horizontal yang disepakati. Sinergisme bukan kerjasama biasa, namun  merupakan bentuk kerja sama yang akan mengasilkan suatu yang mempunyai nilai lebih besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai apabila ruang , institusi  atau kegiatan yang ada berdiri sendiri.

IV KESIMPULAN
Untuk mengasilkan pemerintahan yang berwibawa dan perekonomi negara yang kuat, serta masyarakat yang madani dan bangsa yang mandiri, perlu pemerintah melakukan reformasi tata kelola negara, melalui pergeseran paradigma pembengunan. Dari government ke governance. Dengan pendekatan pembangunan yang sinergis, efektif dan efisien,seperti misalnya melalui empat demensi implementasi manajemen spasial kota. Terjadi koordinasi yang terpadu, menyeluruh antara tiga pilar utama pelaku pembangunan (pemerintah,masyarakat, dan dunia usaha), dengan asas keadilan, kesetaraan dan manfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Setiono, J. 2000. Good Governance. Manajemen Usahawan Indonesia, halm. 60
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar